Google ads

Jumat, 10 Juni 2011

Pembersihan Permukaan Atom

Persiapan dan Pembersihan Permukaan Atom
Oleh : Haiyul Fadhli 

Komposisi Permukaaan
Tahap pertama untuk memahami cara permukaan mengkatalisa reaksi, adalah dengan cara mennentukan sifat permukaan adsorben yang bersih. Dalam hubungan ini “bersih” bukan hanya berarti menggosok sampel itu dan memegangnya dengan hati-hati. Pada kondisi normal, permukaan itu secara konstan dihujani dengan partikel gas, dan permukaan yang baru disiapkan itu, segara ditutui. Kecepatan penutupan ini dapat deperkirakan dengan teori kinetika gas. Ungkapan yang dihasilkan untuk jumlah tabrakan per satuan luas persatuan waktu jika tekanannya p adalah.
Zw = P
        (2πmkT)1/2
Bentuk praktis dari persamaan itu :
Zw / cm-2s-1 = 3,51 x 1022 p/Torr
                       {(K/T)XM/(g mol-1)}1/2

Dengan M merupakan massa molar gas. Untuk udara (M ≈ 29,9 mol-1) pada 1 atom dan 250C, frekwensi tumbukannya adalah 3 X 1023 cm-2s-1. Karena 1 cm2 permukaan logam terdiri dari sekitar 1015 atom, maka setiap atom diserang sekitar 1018 kali perdetik. Bahkan jika hanya sedikit tumbukan yang meninggalkan sebuah molekul yang terasorpsi pada permukaan, berarti waktu tetap bersihnya permukaan yang sudah disiapkan itu sangat pendek.
Teknik vakum tinggi (UHV)
UHV diperlukan untuk aplikasi ini untuk mengurangi kontaminasi permukaan, dengan mengurangi jumlah molekul mencapai sampel selama periode waktu tertentu. Pada 0,1 MPa (10-6 Torr), hanya membutuhkan waktu 1 detik untuk menutupi permukaan dengan kontaminan.
Pemecahan yang nyata adalah dengan mengurangi tekanan. Jika tekanan dikurangi hingga µTorr (seperti dalam sistem vakum yang sederhana), frekwensi tumbukan nya turun sampai sekitar 4 x 1014 cm -2s-1 . hal ini sesuai dengan suatu serangan per atom permukaan dalam setiap 3 detik. Walaupun dalam kebanyakan eksperimen waktu itu terlalu singkat, tetapi dalam teknik vakum ultra tinggi (UHV) tekanan serendah 1 nTorr (10-9 Torr, ketika Zw = 1011 cm-2 s-1) dicapai secara rutin, dan tekanan sebesar 10 pTorr (10-11 Torr, ketika Zw = 109 cm-2 s-1) dicapai secara hati-hati. Frekwensi tumbukan ini sesuai dengan penyerangan setiap atom permukaaan sekali setiap 103 sampai 105 detik, atau sekitar satu atau dua kali perjam.
 Susunan alat UHV sedemikian rupa, sehingga seluruh bagian yang divakumkan, dapat dipanaskan sampai 200-3000c selama beberapa jam untuk mendorong molekul gas dari dinding. Semua keran dan segel terbuat dari logam untuk menghindari kontaminasi dari lemak. Sampel biasanya berbentuk Kristal tunggal (dan ada kalanya sebagai lembaran tipis, serat, atau ujung yang tajam) jika yang akan diteliti adalah peranan bidang Kristal yang khusus, maka sampel itu berupa kristall tunggal dengan sisi yang dibuat dengan mesin, digosok dan dietsa secara kimia. Pembersihan awal permukaan, dilakukan dengan pemanasan listrik atau menghujaninya dengan ion gas yang dipercepat. Hal yang terakhir ini dilakukan dengan hati-hati, dapat merusak struktur permukaannya sehingga menghasilkan kumpulan atom yang bersifat amorf. Untuk mengembalikan permukaan itu ke keadaan teratur, diperlukan pemanasan pada temperature tinggi, dan segera mendinginkannnya.

DAFTAR PUSTAKA
Atkins, P. W. 1997. Kimia Fisika Jilid 2. Edisi IV. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Anonim, http://en.wikipedia.org/wiki/Ultra-high_vacuum

Selasa, 07 Juni 2011

Antioksidan

Hubungan antara konsumsi makanan teroksidasi dengan penyakit kronis
Makanan dengan kadar lemak tinggi merupakan salah satu sumber LDL (lebih sering disebut kolesterol jahat) LDL mudah teroksidasi oleh radikal bebas dan sangat berbahaya karena apabila LDL teroksidasi dapat memicu berbagai mekanisme terbentuknya benjolan pada dinding pembuluh darah karena radikal bebas mengubah sifat kolesterol yang pada awalnya cair menjadi lengket. Dalam perjalanannya kolesterol yang telah teroksidasi tersebut menempel pada dinding pembuluh darah dan pada akhirnya dapat menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah. Kondisi ini biasanya dikenal dengan istilah Plak aterosklerosis yang merupakan penyebab utama penyakit jantung koroner dan stroke. Kalau makanan sudah teroksidasi maka radikal bebas akan mudah terbentuk. Efek oksidatif radikal bebas dapat menyebabkan peradangan dan penuaan dini. Lipid yang seharusnya menjaga kulit agar tetap segara berubah menjadi lipid peroksida karena bereaksi dengan radikal bebas, sehingga mempercepat penuaan. Kanker pun disebabkan oleh reaktif yang intinya memacu zat karsinogenik, sebagai faktor utama kanker. Radikal bebas dapat menghancurkan DNA dalam sel-sel sehingga menyebabkan kanker dan banyak masalah kesehatan lainnya.
Proses penuaan dan penyakit degeneratif seperti kanker kardiovaskuler, penyumbatan pembuluh darah yang meliputi hiperlipidemik, aterosklerosis, stroke, dan tekanan darah tinggi serta terganggunya sistem imun tubuh dapat disebabkan oleh stress oksidatif.
Stress oksidatif adalah keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika. Kekurangan zat gizi dan adanya senyawa xenobiotik dari makanan atau lingkungan yang terpolusi akan memperparah keadaan tersebut.

2. Pengertian radikal bebas dan pembentukannya
Radikal bebas merupakan suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Jika elektron yang terikat oleh senyawa radikal bebas tersebut bersifat ionik, dampak yang timbul memang tidak begitu berbahaya. Akan tetapi, bila elektron yang terikat radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen, akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan secara bersama-sama pada orbital terluarnya. Umumnya, senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein, maupun DNA.
Dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus-menerus, baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tuubuh, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok, dan lain-lain. Dari pernyataan ini dapat diyakini bahwa dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga makin meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme seiring bertambahnya usia. Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan peningkatan oksidasi glukosa dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk lebih banyak. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya umur seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh

Radikal bebas terbentuk melalui dua cara yaitu:
1. Secara endogen radikal bebas dihasilkan sebagai respon normal dari reaksi biokimia dalam tubuh berupa hasil sampingan dari proses oksidasi sel yang belangsung pada saat metabolisme tubuh.
Beberapa radikal yang terdapat didalam tubuh manusia yaitu:
• Hidroksi (OH), merupakan radikal bebas yang sangat reaktif yang diproduksi oleh sel-sel dalam netrofil dan monosit tubuh.
• Nitrit Oksida (NO), dihasilkan dari sel endotelium vaskular.
• Super Oksida (O2*), juga dihasilkan dari sel endotelium vaskular.
2. Secara eksogen radikal bebas dihasilkan dari beberapa polutan lingkungan (emisi kendaraan bermotor dan industri, asap rokok, dan limbah ), makanan, paparan zat kimia dan radiasi sinar UV yang masuk ke dalam tubuh melalui jalan inhalasi (terhirup), mulut, dan penyerapan melalui kulit.

Tahap-tahap reaksi radikal bebas didalam tubuh) :
1. Tahap inisiasi, yaitu tahapan awal yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas.
 RH R˙ + H˙
 DPPH – H DPPH˙ + H˙
2. Tahap propagasi, yaitu tahap dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak dengan membuat reaksi berantai dengan molekul lain.
 R˙ + O2 ROO˙
 DPPH˙ + RH R˙ + ROOH
 DPPHOO˙ + DPPH DPPH˙ + DPPHOOH
3. Tahap terminasi, yaitu apabila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas lain atau antara radikal bebas dengan senyawa antioksidan sehingga membentuk produk yang non radikal.
 R˙ + R˙ R:R
 DPPH˙ + DPPH˙ Produk non radikal

3. Cara makanan yang mengandung antioksidan dalam mencegah terjadinya reaksi berantai radikal bebas
Dalam makanan terdapat senyawa antioksidan seperti flavonoid, tokoferol, vitamin C, betakaroten, asam urat, billirubin dan albumin. Jika terdapat radikal bebas maka senyawa antioksidan yang terdapat pada makanan tersebut akan melakukan mekanisme pemutusan rantai reaksi radikal dengan mendonorkan atom hidrogen secara cepat pada suatu lipid yang radikal. Selain itu senyawa antioksidan yang terdapat dalam makanan tersebut dapat menghilangkan penginisiasi oksigen maupun nitrogen radikal atau bereaksi dengan komponen atau enzim yang menginisiasi reaksi radikal, antara lain dengan menghambat enzim pengoksidasi dan menginisiasi enzim pereduksi atau mereduksi oksigen tanpa membentuk spesies radikal yang reaktif.

4. Peranan antioksidan dan mekanisme antioksidan
Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Selain itu antioksidan dapat dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.
Definisi lain menyatakan antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam.
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan ini.
Fungsi utama antioksidan adalah sebagai berikut :
1. Mencegah terjadinya penyakit degeneratif
2. Mencegah atau menghambat proses penuaan dini
3. Memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak
4. Memperkecil terjadinya proses kerusakan bahan makanan
5. Memperpanjang masa pemakaian suatu produk makanan
6. Meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan

Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan hasil ekstraksi bahan alami)
Sistem antioksidan dalam tubuh secara alami telah terdapat dalam tubuh manusia sebagai pelindung terhadap serangan radikal bebas. Mekanisme kerja antioksidan dalam menyerang radikal bebas terbagi menjadi 2 mekanisme, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder.

5. Metoda Pengujian Antioksidan
Terdapat beberapa metode pengujian aktivitas antioksidan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Uji kualitatif untuk mengetahui apakah suatu senyawa memiliki aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan metode kromatografi baik kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas. Metode ini dapat untuk memisahkan campuran antioksidan yang kompleks sekalipun. Pereaksi semprot yang digunakan untuk deteksi dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut:
(a) Senyawa-senyawa yang dapat membentuk warna ketika tereduksi (kalium permanganat, ferri-sianida, ferri-dipiridil, dan asam fosfomolibdat);
(b) senyawa yang dapat berikatan dengan senyawa fenol, seperti senyawa diazo, pereaksi diazo, magnesium sulfat, aldehid aromatic-anisaldehid, vanillin dan pereaksi Gibbs yang membentuk indofenol (akan membentuk garam berwarna dalam kondisi basa);
(c) radikal bebas stabil yang menerima radikal hidrogen dari antioksidan (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil); dan
(d)senyawa-senyawa yang membentuk senyawa adisi yang berwarna (palladium klorida dan pentadium klorida)
Uji aktivitas antioksidan dapat dilakukan secara spektrofotometri. Uji tersebut dilakukan secara in-vitro.
i. Metode conjugated diene
Metode ini mengukur absorbansi konjugasi dari diena sebagai hasil dari oksidasi asam lemak tak jenuh pada panjang gelombang UV 234 nm. Prinsip metode ini adalah selama oksidasi asam linoleat, ikatan rangkap terkonversi ke bentuk ikatan rangkap terkonjugasi, yang dikarakterisasi dengan absorpsi kuat pada panjang gelombang UV 234 nm. Aktivitasnya diekspresikan dengan istilah inhibitory concentration (IC50).
ii. Metode penangkapan radikal hidroksil
Kapasitas penangkapan radikal hidroksil dari suatu ekstrak berhubungan langsung dengan aktivitas antioksidannya. Metode ini memerlukan generation in-vitro dari radikal hidroksil menggunakan Fe3+/ascorbate/EDTA/H2O2 menggunakan reaksi Fenton. Penangkapan radikal hidroksil sebagai tanda adanya aktivitas antioksidan. Radikal hidroksil akan bereaksi dengan dimetil sulfoksida (DMSO) untuk membentuk formaldehid. Formaldehid akan menghasilkan warna kuning dengan reagen Nash (2M ammonium asetat dengan 0,05M asam asetat dan 0,02M asetil aseton dalam air destilasi). Intensitas warna kuning diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 412 nm. Aktivitas antioksidan diekspresikan dengan %penangkapan radikal hidroksil.
2.Uji ABTS
Asam 2,2’-Azinobis(3-etilbenzatiazolin)-6-sulfonat (ABTS) merupakan substrat dari peroksidase, di mana ketika dioksidasi dengan kehadiran H2O2 akan membentuk senyawa radikal kation metastabil dengan karakteristik menunjukan absorbansi kuat pada panjang gelombang 414 nm. ABTS merupakan senyawa larut air dan stabil secara kimia.
Akumulasi dari ABTS dapat dihambat oleh antioksidan pada medium reaksi dengan aktivitas yang bergantung waktu reaksi dan jumlah antioksidan. Kemampuan relatif antioksidan untuk mereduksi ABTS dapat diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 734 nm. Absorbansi maksimal juga dapat terjadi pada panjang gelombang yang lain. Panjang gelombang yang mendekati daerah infra merah (734 nm) dipilih untuk meminimalkan interfensi dari absorbansi komponen lainnnya.
Hasil pengukuran dengan spektrofotometer selanjutnya dibandingkan dengan standar baku antioksidan sintetik, yaitu trolox yang merupakan analog vitamin E larut air. Hasil perbandingan ini diekspresikan sebagai TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Activity). TEAC adalah konsentrasi (dalam milimolar) larutan trolox yang memiliki efek antioksidan ekuivalen dengan 1,0 mM larutan zat uji. TEAC mencerminkan kemampuan relatif dari antioksidan untuk menangkap radikal ABTS dibandingkan dengan trolox.
iii. Metode Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP)
Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) bekerja berdasarkan reduksi dari analog ferroin, kompleks Fe3+ dari tripiridiltriazin Fe(TPTZ)3+ menjadi kompleks Fe2+, Fe(TPTZ)2+ yang berwarna biru intensif oleh antioksidan pada suasana asam. Aktivitas antioksidan diestimasi dengan mengukur peningkatan absorbansi dari pembentukan ion-ion fero dari reagen FRAP yang mengandung 2,4,6- tri(2-piridil)-s-triazin (TPTZ) dan FeCl3.6H2O. Absorbansi diukur secara spektrofotometri pada 595nm.
v. Metode DPPH.
DPPH atau 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (α,α-difenil-βpikrilhidrazil) merupakan suatu radikal bebas yang stabil dan tidak membentuk dimer akibat delokalisasi dari elektron bebas pada seluruh molekul. Delokalisasi elektron bebas ini juga mengakibatkan terbentuknya warna ungu pada larutan DPPH sehingga bisa diukur absorbansinya pada panjang gelombang sekitar 520 nm.
Ketika larutan DPPH dicampur dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen, maka warna ungu dari larutan akan hilang seiring dengan tereduksinya DPPH.
Uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode ini berdasarkan dari hilangnya warna ungu akibat tereduksinya DPPH oleh antioksidan. Intensitas warna dari larutan uji diukur melalui spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang sekitar 520 nm. Hasil dari uji ini diinterpretasikan sebagai EC50, yaitu jumlah antioksidan yang diperlukan untuk menurunkan konsentrasi awal DPPH sebesar 50%. Pada metode ini tidak diperlukan substrat sehingga memiliki keuntungan, yaitu lebih sederhana dan waktu analisis yang lebih cepat.


Metode Nitrogen Oksida
            Nitrit oksida merupakan senyawa yang  bersifat toksik dan berumur pendek, berupa molekul gas yang diproduksi ole inducible NO synthase (iNOS) dengan cara mengubah asam amino L-ariginin menjadi NO dan citrulin.
            NO dapat dengan mudah berdifusi bebas melintasi membran sel menuju ke sel yang berasa didekatnya, kemudian bereaksi dengan sulfur besi dari beberapa makromolekul dan menghambat terjadinya ribonukleotida reduktase. Pada sintesis DNA ribonuklease diubah menjadi DNA, maka sintesa terhambat dan poliferasi sel terhenti dan merupakan mekanisme dari fagosit untuk menghambat inflamasi.
            NO dalam saluran pernafasan dihasilkan oleh berbagai jenis sel termasuk epitel saraf saluran napas, sel-sel inflamasi (makrofag, neutrofil, sel mast) dan sel endotel pembuluh darah. Setelah pembentukannya NO terurai menjadi oksida nitrogen lain, yaitu nitrit  dan nitrat . NO juga bereaksi dengan anion superoksida dan menghasilakan peroxynitrit yang merupakan mmolekul sitotoksik kuat dan kerusakan epitel, meningkatkan perekruta sel inflamasi, dan menghambat surfaktan paru. NO dalam peradangan saluran nafas, tidak hanya sebagai penanda tetapi memiliki antiinflamasi dan efek pro inflamasi (Rozina, 2012).
            Uji aktivitas antioksidan dengan metoda nitrogen oksida dapat dijelaskan dengan  reaksi griess, dimana suaru senyawa nitropurriside diketahui terurai didalm air dan dalm kondisi aerobic NO bereaksi dengan oksigen menghasilkan nitrat dan nitrit. Pada saat anlisa sampel terjadi reaksi pembentukan senyawa diazo berdasarkan mekanisme reaksi griess (Susanto, 2004).

HNO2 + HO3S-C6H4-N+H3  HO3S-C6H4-N+N + H2O
                   Asam sulfanilat

HO3S-C6H4-N+N + C10H7-NH-CH2-CH2-NH2
                   N-(naphtyl)-ethylenediamine dihydrochloride

                                                           HO3S-C6H4-N=N-C10H6-NH-CH2-CH2-NH2
                                                                                                                Senyawa diazo
Senyawa diazo yang terbentuk merupakan senyawa berwarna orange kememerah-merahan yang dapat dianalisa menngunakan spektropotometer pada panjang gelombang 540 nm.
2.5.3.      Metode peroksidasi Lipid
            Radikal bebas dapat mengakibatkan lipid kehilangan ketidak jenuhan membentuk metabolit reaktif yang mengubah fluiditas, permeabilitas membran, dan mempengaruhi enzim yang terikat membran. Lipid tak jenuh merupakan target yang paling rentan karena mengandung banyak ikatan rangkap.
            Hati dan ginjal merupakan tempat kegiatan oksigen radikal dan peroksida lemak terbanyak peroksida lemak bersifat adesif terhadap molekul lain, memiliki potensial aksi yang sedang, lama aksi yang panjang dalam sel, tetapi juga tidak dapat dikeluarkan melalui ginjal dan tetap tinggal di dalam tubuh.
             hidroperoksida dapat terurai dan dikatalisis oleh logam  menghasilkan senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bersifat sitotoksik. Pemecahan ikatan karbon selama peroksidasi lipid menyebabkan pembentukan alkanal seperti malonaldehida. Proses peroksidasi lipid hingga terbentuknya malonaldehida.
            Metode yang digunakan yaitu TBARS (thiobarbituric acid reactive subtance) dengan fluorofotometri. Prinsip analisis ini yaitu pemanasan akan menghidrolisis peroksidasi lipid, sehingga MDA yang terikat akan dibebaskan dan akan bereaksi dengan TBA dalam suasana asam membentuk kompleks MDA-TBA yang bewarna merah, dan diukur pada panjang gelombamg 532 nm (Maria Bintang, 2010)

Antioksidan
Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid walaupun dalam konsenterasi yang sedikit (Sampels, 2005). Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan dapat berperan sebagai peredam radikal bebas (free radical scavenger), dekomposer peroksida, mereduksi singlet oksigen dan menghambat enzim (Dean, 2003; Simpson, 2006).
Tubuh manusia memiliki aktivitas antioksidan endogenus. Enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT) dan glutation peroksidase (GPX) berperan dalam meredam oksidan dan mencegah sel dari kerusakan. Disamping enzim-enzim tersebut molekul non enzim dalam sel seperti thioredoksin, thiol dan ikatan disulfida berperan dalam sistem pertahanan antioksidan tubuh. Hasil studi epidemilogi mekanisme antioksidan endogenus ini tidak mampu mengimbangi jumlah radikal bebas yang dihasilkan tubuh dan pada kondisi tertentu aktivitasnya menjadi tidak efisien sehingga radikal bebas tersebut menyebabkan kerusakan oksidatif pada biomolekul (Yang dkk., 2007; Aqil dkk., 2006; Mosquiera dkk., 2007).
Ketidakseimbangan jumlah radikal bebas dan sistem antioksidan endogenus menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Untuk mencegah stress oksidatif maka dibutuhkan antioksidan non enzimatis dari luar tubuh. Substansi yang terkandung dari sayuran dan buah seperti α-tokoferol, β-karoten asam askorbat, flavonoid dan senyawa fenolik, zink dan selenium termasuk dalam kelompok antioksidan eksogenus (Simpson, 2006).
Sistem perlindungan dari dalam maupun dari luar tubuh sering tidak memadai karena terlalu banyaknya radikal bebas yang terbentuk sebagai akibat dari polusi udara, asap rokok, sinar ultra violet yang diproduksi sinar matahari, pestisida dan senyawa xenobiotik di dalam makanan, bahkan olah raga yang berlebihan. Zat pemicu yang diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan antioksidan tidak cukup dikonsumsi. Kombinasi antara antioksidan dari luar tubuh dan antioksidan dalam tubuh dapat menekan radikal bebas. Sebagai contoh, tubuh manusia dapat menghasilkan glutation, salah satu antioksidan yang sangat kuat, hanya saja tubuh memerlukan asupan vitamin C sebesar 1000 mg untuk memicu tubuh menghasilkan glutation ini. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan stres oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkannya.

Metoda Antioksidan
1 Metoda DPPH
Aktivitas antioksidan merupakan suatu aktivitas senyawa yang bersifat untuk menghambat terjadinya pembentukan radikal bebas di dalam tubuh. Antioksidan substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal. Antioksidan dapat menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan dapat menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas (Han dkk., 2004).
Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Daya peredaman radikal bebas dilakukan dengan menghitung nilai EC50 (efficient concentration) atau disebut nilai IC50 (inhibition corelation), yakni konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Penetapan daya peredaman radikal bebas manggunakan larutan standar adalah larutan DPPH dalam metanol. Larutan uji adalah campuran larutan DPPH dalam metanol dengan sampel yang konsentrasinya telah diketahui. Diukur penurunan intensitas serapan pada λ 516-517 nm.
Senyawa 1,1–Difenil-2-Pikril Hidrazil (DPPH) adalah radikal bebas yang stabil, berwarna ungu dan berupa kristal berbentuk prisma. Karena bersifat stabil apabila digunakan sebagai pereaksi dalam uji peredaman radikal bebas tidak perlu dibuat segar dan senyawa ini jika disimpan dalam kondisi penyimpanan yang baik tetap stabil selama bertahun-tahun.
Dengan terjadinya reaksi antara senyawa peredam radikal bebas dengan DPPH akan terjadi DPP Hidrazin yang stabil, sedangkan peredam radikal bebas yang kehilangan H akan terjadi radikal baru, tetapi radikal ini kurang reaktif (Martha, 2001).
2. Metode ORAC (Oxygen Radical Absorbance Capacity)
Metode ORAC  menggunakan senyawa radikal peroksil yang dihasilkan melalui larutan cair dari 2,2’-azobis-2-metil-propanimidamida. Antioksidan akan bereaksi dengan radikal peroksil dan menghambat degradasi pendaran zat warna (Teow dkk., 2007).  Kelebihan metode pengujian ORAC  adalah kemampuannya dalam menguji antioksidan hipofilik dan lipofilik sehingga akan menghasilkan pengukuran lebih baik terhadap total aktivitas antioksidan (Prior et al. 2003 dalam Teow dkk., 2007). Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan peralatan yang mahal (Awika  dkk.,  2003  dalam Thaipong  dkk., 2005) dan metode ORAC hanya sensitif terhadap penghambatan radikal peroksil (Cronin, 2004).
3. Metode FTC (Ferric Thiocyanate)
Metode FTC merupakan metoda yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antioksidan suatu senyawa dengan mengukur kandungan peroksidanya. Asam linoleat merupakan asam lemak tak jenuh dengan 2 buah ikatan rangkap yang mudah mengalami oksidasi membentuk peroksida. Radikal bebas terbentuk karena oksidasi asam linoleat dalam kondisi buffer yang dapat diukur bilangan peroksidanya dengan pereaksi FeCl2dan NH4SCN. Peroksida ini akan mengoksidasi ion fero menjadi feri membentuk kompleks feritiosianat karena  adanya ion tiosianat, yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. Semakin tinggi absorbansi peroksida menunjukkan semakin tingginya jumlah peroksida, yang berarti oksidasi asam linoleat semakin tinggi (Lestario dkk., 2005).
ROOH + Fe2+ ROH + HO + Fe3+
Menurut Kikuzaki dan Nakatani (1993), nilai absorbansi peroksida berbanding terbalik terhadap aktivitas antioksidannya yaitu semakin tinggi nilai absorbansi berarti semakin rendah aktivitas antioksidannya. Hal ini dapat dirumuskan dengan % aktivitas antioksidan = 100 - % oksidasi.

Sediaan Parenteral

SEDIAAN PARENTERAL
Oleh : Haiyul Fadhli 

o
Pengertian
Sediaan parenteral yaitu sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut atau dapat dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna (langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan langsung sampai sasaran. Misal suntikan atau insulin.
Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parentral. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk sediaan kering. Apabila mau dipakai baru ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang harus dilakukan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir.
Pembuatan sediaan yang akan digunakan untuk injeksi harus hati-hati untuk menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) mensyaratkan pula tiap wadah akhir injeksi harus diamati satu persatu secara fisik. Kemudian, kita harus menolak tiap wadah yang menunjukkan pencemaran bahan asing yang terlihat secara visual.
Bentuk suatu obat yang dibuat sebagai obat suntik tergantung pada sifat obat sendiri dengan memperhitungkan sifat kimia dan fisika serta pertimbangan terapetik tertentu. Pada umumnya, bila obat tidak stabil didalam larutan, maka obat tersebut harus membuatnya sebagai serbuk kering yang bertujuan dibentuk dengan penambahan pelarut yang tepat pada saat akan diberikan. Cara lainnya adalah membuatnya dengan bentuk suspensi partikel obat dalam pembawa yang tidak melarutkan obat. Bila obat tidak stabil dengan adanya air, maka pelarut dapat diganti sebagian atau seluruhnya dengan pelarut yang tepat untuk obat agar stabil. Bila obat tidak larut dalam air, maka obat suntik dapat dibuat sebagai suspensi air atau larutan obat dalam pelarut bukan air, seperti minyak nabati. Bila larutan air yang diinginkan, maka dapat digunakan garam yang dapat larut dari obat yang tidak larut untuk memenuhi sifat-sifat kelarutan yang diisyratkan. Larutan air atau larutan yang bercampur dengan darah dapat disuntikan langsung kedalam aliran darah. Cairan yang tidak bercampur dengan darah, seperti obat suntik berminyak atau suspensi, dapat menghambat aliran darah normal dalam sistem peredaran darah dan umumnya digunakan terbatas untuk pemberian bukan intravena.
Waktu mulai dan lamanya obat dapat diatur sesuai dengan bentuk kimia obat yang digunakan. Keadaan fisik obat suntik (larutan atau suspensi), dan pembawa yang digunakan. Obat yang sangat larut dalam cairan tubuh umumnya paling cepat diabsorbsi dan mula kerjanya paling cepat. Artinya, obat dalam larutan air mempunyai mula kerja yang lebih cepat dari pada obat dalam larutan minyak. Alasanya adalah sediaan dalam air lebih mduah bercampur dengan cairan tubuh sesudah disuntikkan dan kemudian kontak partikel obat dengan cairan tubuh menjadi lebih cepat. Kita seringkali, membutuhkan kerja obat yang lebih panjang untuk mengurangi pengulangan pemberian suntikan. Jenis suntikan dengan kerja yang panjang biasa disebut jenis sediaan “depot” atau “repository”. Dalam pembuatan obat suntik, syarat utamanya ialah obat harus steril, tidak terkonaminasi bahan asing, dan disimpan dalam wadah yang menjamin sterilitas.
Infus intravenous adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak. Emulsi dibuat dengan air sebagai fase luar. Diameter fase dalam tidak lebih dari 5 μm. kecuali dinyatakan lain, infus intravenous tidak diperbolehkan mengandung bakterisida dan zat dapar. Larutan untuk infus intravenous harus jernih dan praktis bebas partikel. Emulsi untuk infus intravenous setelah dikocok harus homogen dan tidak menunjukkan pemisahan fase (FI III)
Larutan intravena volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml (FI IV)
Menurut definisi dalam Farmakope, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda, yaitu:
1) Obat, larutan, atau emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai dengan nama: injeksi. Contoh: Injeksi Insulin
2) Sediaan padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar, pengencer, atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang memenuhi persyaratan injeksi. Kita dapat membedakan dari nama bentuknya: steril. Contoh: Sodium steril
3) Sediaan seperti tertera pada no. 2, tetapi mengandung satu atau lebih dapar, pengencer, atau bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama bentuknya: untuk injeksi. Contoh: Methicillin Sodium untuk injeksi.
4) Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal. Kita dapat membedakannya dari nama bentuknya: suspensi steril. Contoh: Cortison Suspensi steril
5) Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan pembawa yang sesuai. kita dapat membedakan dari nama bentuknya: steril untuk suspensi
Ada keuntungan dan kelemahan pemberian obat secara parental diantaranya :
Keuntungan :
1. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
2. Bioavabiltas sempurna atau hampir sempurna.
3. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan .
4. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sedang sakit keras ataupun koma.

Kelemahan :
1. Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personal yang terlatih dan membutuuhkan waktu pemberian yang lebih lama
2. Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan prosedur aseptic rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu dapat dihindari
3. Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada dalam sirkulasi sistemik
4. Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan pegemasan
5. Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral dan interaksi obat secara parenteral seperti septisema, infeksi jamur, inkompatibilitas karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi obat
6. Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat, bebas dari pirogen, dan stabilitas parenteral harus oleh semua personel yang terlihat.
Persyaratan sediaan parenteral
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril , tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahn obat dengan material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen.
6. Isotonis.
7. Isohidris.
8. Bebas partikel melayang
Cara Pemberian obat Parenteral
1. Subkutan atau dibawah kulit (s.c), yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian yang sedikit lemaknya dan masuk kedalam jaringan bawah kulit. Volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml.
2. Intramuskular (i.m) yaitu disuntikan kedalam jaringan otot,umumnya otot paha atau pantat.
3. Intravena (i.v) yaitu disuntikkan kedalam pembuluh darah.
4. Intraspinal, yaitu disuntikkan kedalam sumsum tulang belakang.
5. Peritoneal, yaitu kateter dimasukkan kedalam rongga perut dengan operasi untuk tempat memasukkan cairan steril CAPD ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ).
6. Intra artikular, yaitu disuntikkan kedalam sendi.
7. Intradermal, yaitu disuntikkan kedalam kulit.
Sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu :
A. Sediaan Parenteral Volume Kecil
Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril yang dikemas dalam wadah di bawah 100 ml.
Kategori sediaan parenteral volume kecil :
1. Produk Farmaseutikal yang terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik dalam larutan, suspensi, emulsi, produk freezedried atau sebagai serbuk steril.
2. Produk Biologi yang disiapkan dari sumber biologi meliputi vaksin, toksoid, ekstrak biologi.
3. Zat pendiagnosa seperti media kontras sinar x.
4. Produk radiofarmasi untuk deteksi dan diagnosis.
5. Produk gigi seperti anestetik lokal.
6. Produk bioteknologi.
7. Produk liposom dan lipid.
B. Sediaan Parenteral Volume Besar
Sediaan cair steril yang mengandung obat yang dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih dan ditujukan untuk manusia
Tujuan Penggunaan
1. Bila tubuh kekurangan air, elektrolit dan karbohidrat maka kebutuhan tersebut harus cepat diganti.
2. Pemberian infus memiliki keuntungan karena tidak harus menyuntik pasien berulangkali.
3.. Mudah mengatur keseimbangan keasam dan kebasaan obat dalam darah.
4. Sebagai penambah nutrisi bagi paseien yang tidak dapat makan secara oral ..
5. Berfungsi sebagai dialisa pada pasien gagal ginjal.
Syarat-syarat parenteral volume besar
1. Steril


2. Bebas Pirogen
Sediaan Parenteral Volume Besar harus steril dan bebas pirogen karena :
1. Sediaan diinjeksikan langsung kedalam aliran darah (i.v).
2. Sediaan ditumpahkan pada tubuh dan daerah gigi (larutan penguras).
3. Sediaan langsung berhubungan dengan darah (hemofiltrasi).
4. Sediaan langsung ke dalam tubuh (dialisa peritoneal).
3. Bebas dari bahan pertikulat jernih, karena dapat menyebabkan emboli.
4. Dikemas dalam wadah dosis tunggal
5. Tidak mengadung bahan baktersid karena volume cairan terlalu besar.
6. Isotonis dan isohidris
Komposisi sediaan parenteral
1. Bahan aktif
2. Bahan tambahan
a. Antioksidan : Garam-garam sulfurdioksida, termasuk bisulfit, metasulfit dan sulfit adalah yang paling umum digunakan sebagai antioksidan. Selain itu digunakan :Asam askorbat, Sistein, Monotiogliseril, Tokoferol.
b. Bahan antimikroba atau pengawet (Hanya untuk sediaan injeksi, tidak boleh ditambahkan untuk sediaan infus)
contoh : Benzalkonium klorida, Benzil alcohol, Klorobutanol, Metakreosol, Timerosol, Butil p-hidroksibenzoat, Metil p-hidroksibenzoat, Propil p-hidroksibenzoat, Fenol.
c. Buffer (Hanya untuk sediaan injeksi, tidak boleh ditambahkan untuk sediaan infus)
conto : Asetat, Sitrat, Fosfat.
d. Bahan pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA).
e. Gas inert : Nitrogen dan Argon.
f. Bahan penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alkohol, Gliserin, Polietilen glikol, Propilen glikol, Lecithin
g. Surfaktan : Polioksietilen dan Sorbitan monooleat.
h. Bahan pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl
i. Bahan pelindung : Dekstrosa, Laktosa, Maltosa dan Albumin serum manusia.
j. Bahan penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin.
3. Pembawa
a. Pembawa air
b. Pembawa nonair dan campuran
Minyak nabati : Minyak jagung, Minyak biji kapas, Minyak kacang, Minyak wijen
Pelarut bercampur air : Gliserin, Etil alcohol, Propilen glikol, Polietilenglikol 300.
Dasar-Dasar Formulasi
1. Pengaruh Cara Suntik (Rute pemberian)
2. Pengaruh Pembawa
Zat Pembawa berair yaitu Air untuk injeksi digunakan sebagai zat pembawa untuk injeksi berair. Injeksi Natrium Klorida, Injeksi Natrium klorida majemuk, injeksi Glukosa, campuran Gliserol dan etanol atau zat pembawa berair lainnya dapat juga digunakan. Zat pembawa berair harus memenuhi syarat Uji Pirogenitas. Air ini dapat dibuat dengan metoda destilasi atau dengan metoda osmosis terbalik.
Air untuk injeksi atau Aqua pro Injectione dibuat dengan menyuling kembali air suling segar dengan alat kaca netral atau wadah logam yang cocok yang diperlengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama dibuang, sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok, dan segera digunakan.
Air merupakan suatu pembawa utama pada sediaan parenteral. Air juga digunakan pada pencucian, pembilasan dan pada proses sterilisasi. Suplai air harus menjamin kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan mulai dari proses awal hingga akhir.
Untuk kepentingan farmaseutik, air perlu perhatian khusus seperti kontaminasi elektrolit, zat organik, partikel, gas terlarut (CO2) dan mikroorganisme.
Air untuk injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan Air untuk injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan, dan segera digunakan.
Uji kimia dan mikrobiologi untuk aqua pro injeksi meliputi: pH, klorida, sulfat, amonia, kalsium, karbondioksida, logam berat, reduktor dan pirogen.
Zat pembawa tidak berair umumnya digunakan Minyak untuk Injeksi. Minyak untuk injeksi atau olea pro injectione, meliputi minyak lemak, ester asam lemak tinggi baik alam ataupun sintetis.
Minyak untuk injeksi harus memenuhi syarat Olea Pinguia dan memenuhi syarat berikut :
1. Harus jernih pada suhu 10 0C
2. Tidak berbau tengik atau asing
3. Bilangan asam 0.2 sampai 0.9
4. Bilangan Iodium 79 sampai 128
5. Bilangan penyabunan 189 sampai 200
6. Harus bebas minyak mineral.
3. Pengaruh Eksipien
3.1. Zat Pendapar
Perubahan pH sediaan dapat terjadi karena reaksi penguraian zat, pengaruh wadah gelas/plastik dan pengaruh gas serta tekanan terhadap zat khasiat sehingga diperlukan pendapar yang dapat mempertahankan pH sediaan. pH yang baik adalah kapasitas dapar yang dimilikinya memungkinkan penyimpanan lama dan darah dapat menyesuaikan diri serta pH ideal = 7,4 sesuai pH darah. Bila pH > 9 terjadi nekrosis pada jaringan dan bila pH < 3 sangat sakit waktu disuntikkan.
3.2 Pengaruh penambahan anti oksidan
Zat khasiat dapat terurai akibat oksidasi sehingga untuk mengatasinya dapat ditambahkan suatu anti oksidan yaitu zat yang mempunyai potensial oksidasi lebih rendah dari zat khasiatnya
3.3 Pengaruh penambahan anti mikroba
Anti mikroba perlu ditambahkan untuk sediaan parenteral yang dipakai berkali-kali (dosis terbagi). Kadang-kadang ditambahkan pada dosis tunggal yang tidak ada sterilisasi akhir
3.4 Pengaruh Tonisitas
Definisi isotonis adalah larutan parenteral yang mempunyai tekanan osmosa sama dengan plasma darah. Bila larutan parenteral mempunyai tekanan osmosa lebih rendah dari plasma darah disebut hipotonis sedangkan bila tekanan osmosanya lebih tinggi disebut hipertonis.
Untuk mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi serta mencegah hemolisa maka sediaan parenteral sebaiknya harus isotonis. Sediaan yang isotonis ini tidak selalu dapat dicapai mengingat kadang-kadang diperlukan zat khasiat dengan dosis tinggi untuk mendapatkan efek farmakologi sehingga isotonis terlampaui (larutan sedikit hipertonis)
Faktor fisiko kimia pembuatan sediaan parenteral
1. Kelarutan
Umumnya obat untuk membuat sediaan parenteral volume besar mudah larut sehingga kelarutan jarang menjadi hambatan. Kelarutan penting diperhatikan bila sediaan dipakai sebagai pembawa obat lain atau terjadinya kristal dari beberapa zat seperti manitol (13 g dlm 100 ml pada suhu 14 0C).
2. pH
pH perlu diperhatikan mengingat pH yang tidak tepat dapat berpengaruh pada darah, kestabilan obat dan berpengaruh pada wadah terutama wadah gelas, plastik dan tutup karet. pH darah normal : 7,35 – 7,45 sehingga bila sediaan parenteral volume basar mempunyai pH diluar batas tsb dapat menyebabkan masalah. pada tubuh.
3. Pembawa
Umumnya digunakan pembawa air. Bila berupa emulsi, partikel tidak boleh lebih besar dari 0,5 μm.
4. Cahaya dan Suhu
Cahaya dan suhu dapat mempengaruhi kestabilan obat. Contoh vitamin harus disimpan dalam wadah terlindung cahaya.
5. Faktor Kemasan/ wadah
Bahan pembuat wadah sangat berpengaruh terhadap kestabilan obat parenteral volume basar seperti gelas, plastik dan tutup karet. Kandungan mikroba dari komponen kemasan sediaan parenteral dapat memberikan kontaminasi, misalnya dari komposisi, selama transportasi dan kondisi penyimpanan produk parenteral.
Jenis-jenis wadah, antara lain :
Ada dua tipe utama wadah untuk injeksi yaitu dosis tunggal dan dosis ganda. Wadah dosis tunggal yang paling sering digunakan adalah ampul dimana kisaran ukurannya dari 1-100 ml. pada kasus tertentu, wadah dosis ganda dan sebagainya berupa vial serum atau botol serum. Kapasitas vial serum 1-50 ml, bentuknya mirip ampul tetapi disegel dengan pemanasan. Ditutup dengan penutup karet spiral. Botol serum juga dapat sebagai botol tipe army dengan kisaran ukuran dari 75-100 ml dan memiliki mulut yang lebar dimana ditutup dengan penutup karet spiral. Labu atau tutup yang lebih besar mengandung 250-2000 ml, digunakan untuk cairan parenteral yang besar seperti NaCl isotonis.
1. Wadah Gelas
Wadah gelas masih merupakan pilihan pertama bagi sediaan parenteral volume kacil karena tahan terhadap zat kimia, asam, basa dan garam. Wadah gelas sebelum digunakan perlu dilakukan pemeriksaan jenis gelas untuk pemakaian parenteral.
Wadah gelas digunakan untuk sediaan parenteral dikelompokkan dalam tipe I, Tipe II, dan Tipe III. Tipe I adalah mempunyai derajat yang paling tinggi, disusun hampir ekslusif dan barosilikat (silikon dioksida), membuatnya resisten secara kimia terhadap kondisi asam dan basa yang ekstrim. Gelas tipe I, meskipun paling mahal, ini lebih disukai untuk produk terbanyak yang digunakan untuk pengemasan beberapa parenteral. Gelas tipe II adalah gelas soda-lime (dibuat dengan natrium sulfit atau sulfida untuk menetralisasi permukaan alkalinoksida), sebaliknya gelas tipe III tidak dibuat dari gelas soda lime. Gelas tipe II dan III digunakan untuk serbuk kering dan sediaan parenteral larutan berminyak. Tipe II dapat digunakan untuk produk dengan pH di bawah 7,0 sebaik sediaan asam dan netral. USP XXII memberikan uji untuk tipe-tipe gelas berbeda.
2. Wadah Polimer
Dalam dekade terakhir banyak digunakan terutama untuk sediaan infus.
Keuntungan : pelepasan material sedikit,kemungkinan pecah kecil, mudah disimpan dan diangkut, mudah ditangani dan suara ribut berkurang.
Kekurangan : dapat terjadi permeasi, resapan, reaksi kimia dan tidak stabilnya material polimer selama pemakaian.
Jenis polimer yang digunakan : poliolefin,vinilresin atau polistiren .
3. Wadah Elastomerik
Wadah elastomerik memiliki beberapa keuntungan : fleksibel, elastis, dapat beradaptasi dengan tekanan lingkungan. Bahan ini sering digunakan untuk vial, botol infus dan berbagai wadah dengan bentuk, ukuran dan ketebalan berbeda. Dua jenis karet jenuh dan tak jenuh. Karet jenuh : butil, etilen, propilen, dien dan silikon. Karet tak jenuh : polisopren, polibutadien, etilen nitril, dan lain-lain.
Cara Sterilisasi Wadah
1. Ampul
Setelah dicuci letakkan terbaring dalam kaleng bersih mulut lebar, tutup sedikit terbuka. Sterilkan dalam oven suhu 170 0C selama 30menit. Setelah disterilkan tutup kaleng dirapatkan dan dikeluarkan dari oven.
2. Vial
Setelah dicuci dengan air suling, sterilkan dalam oven dengan posisi terbaring seperti ampul. Tutup karet digodog dengan air suling selama 30 menit, kemudian dikeringkan dalam setangkup kaca arloji dalam oven dan jangan sampai meleleh.
3. Botol Infus
Setelah dicuci dengan air suling masukkan ke dalam kaleng bersih mulut lebar dan biarkan sedikit terbuka kemudian disterilkan dalam oven suhu 250 0C selama 30 menit . Tutup karet disterilkan seperti tutup vial.
Sediaan parenteral yang dihasilkan melalui proses dan teknologi sebagai berikut:
A. Bahan baku (Material)
1. Penyediaan air demineralisata (deionized water), dengan system Reverse Osmosis yang memenuhi syarat, dan penyediaan air untuk injeksi (water for injection) melalui unit distilasi bertahap (multi stage distillation unit) pada suhu 121-140 0C yg bebas pirogen.
2. Bahan baku dengan bebas mikroba dan endotoksin (pirogen) tidak melebihi batas yang dipersyaratkan.
B. Proses (Metode).
1. Proses produksi dengan semua komponen produk dan peralatan yang berhubungan langsung dengan bahan dilakukan secara otomatis.
2. Design dan kebersihan ruang produksi memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan dipantau secara berkala
3. Pembersihan dan sanitasi peralatan serta fasilitas produksi yang tervalidasi dan terkendali.
4. Penggunaan filter khusus untuk menjamin larutan bebas pirogen dan filter berukuran 0.22 mikron untuk menghilangkan kontaminasi mikroba dan partikel pada tahap pengolahan larutan infus sebelum proses pengisian kedalam botol. (Catatan, pirogen tidak akan hilang hanya dengan pemanasan 121 0C, dengan demikian pemanasan dengan suhu 121 0C tidak memjamin bebas pirogen jika tidak difiltrasi)
5. Pembuatan botol, dengan sistem blow moulding pada suhu 185 0C dan pengisian larutan di bawah Laminar Air Flow.
6. Proses sterilisasi akhir dari kemasan dan isi di otoklaf pada suhu yang optimal sehingga tidak merusak zat-zat yang rentan seperti dekstrosa, asam amino, albumin dll
7. Pengendalian kualitas (quality control) yang ketat melalui pengujian secara kimia, fisika, mikrobiologi untuk memastikan kualitas larutan dan kemasan produk sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
Evaluasi Sediaan Parenteral
1. Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC, Spektroskopi IR.
2. pH
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi penguraian obat atau interaksi obat dengan wadah.
3. Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang disimpan pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan penguraian.
4. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5 tahun.Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing, terjadinya pengendapan atau pertumbuhan mikroorganisme.

5. Bau
Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk sediaan yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
6. Toksisistas
Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama penyimpanan.
7. Evaluasi Wadah
8. keseragaman bobot
9. keseragaman volume

Evaluasi sediaan injeksi
a) Kekedapan
Ampul dikumpulkan pada bak 3L, lalu dimasukkan larutan metilen blue (0,08-0,09%), ditambah 0,9% benzyl alcohol dan 3ppm NaCl. Bak ditutup dan divakumkan dengan tekanan 70mmHg (0,96kg/sq.cm) selama beberapa menit, <15 menit. Lalu bak dinormalkan kembali dan dibuka. Perhatikan apakah ampul diwarnai pewarna. Dengan adanya celah kapiler, larutan berwarna akan masuk dan mewarnai ampul sehingga menandakan ampul rusak. Pada ampul berwarna, diuji dengan larutan berflouresensi dan diakhiri dengan pengamatan pada sinar UV.
b) Kejernihan
Ampul diputar 180 0C secara berulang-ulang didepan latar gelap dan sisisnya diberi cahaya. Dengan demikian, serpihan gelas akan berjatuhan yang mulka-mula turun, lalu berkumpul didasar ampul. Bahan melayang akan berkilauan jika terkena cahaya. Pencahayaan menggunakan lampu Atherman atau lampu proyeksi dengan cahaya 1000 lux – 3500 lux dan jarak 25cm, latar gelap/hitam.
c) Kadar Zat Aktif
Volumetrik, spektrofotometer, HPLC, atau standar farmakope.
d) Sterilitas
Pengujian dilakukan secara mikrobiologis dengan menggunakan medium pertumbuhan tertentu. Penetepan jumlah wadah yang diuji pada setiap kelompok dan masing-masing farmakope berbeda-beda. Produk dikatakan bebas mikroorganisme bila sterility Assurance Level (SAL) = 106 atau 12 log reduction (over kill sterilization). Bila proses pembuatan produk menggunakan aseptic maka SAL = 104.
e) Pirogenitas
1. Secara kualitatif: Rabbit test
Berdasarkan respon demam pada kelinci. Digunakan kelinci karena kelinci menunjukkan respon terhadap pirogen sesuai dengan keadaan manusia. Kenaikan suhu diukur melalui rektal.
2. Secara kuantitatif: LAL test
Cara uji in vitro dengan menggunakan sifat membentuk gel dari lisat amebasit dari limulus polifemus. Uji ini 5-10 kali lebih sensitif dari Rabbit test.
f) Volume Terpindahkan
Volume didalam ampul diambil menggunakan spuit, volume yang diambil harus sesuai dengan volume awal yang dimasukkan.
g) pH
Menggunakan indikator pH universal dan pHmeter.
h) Homogenitas
Diberlakukan untuk suspensi yang harus menunjukkan tampak luar homogen setelah penggocokan dalam waktu tertentu menggunakan alat viscometer Brookfield, sedangkan pengujian emulsi dilakukan secara visual.
i) Toksisitas
Menggunakan Uji BSLT LD50

KESIMPULAN

1. Sediaan parenteral yaitu sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut atau dapat dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna (langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan langsung sampai sasaran.
2. Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parentral.
3. Sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu : sediaan parenteral volume kecil dan sediaan parenteral volume besar
4. Faktor fisiko kimia pembuatan sediaan parenteral kelarutan, pH, pembawa, cahaya/suhu dan faktor kemasan/ wadah.
5. Persyaratan sediaan parenteral terdiri atas : sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya, penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril, tersatukan tanpa terjadi reaksi, bebas kuman, bebas pirogen, isotonis, isohidris dan bebas partikel melayang
6. Komposisi sediaan parenteral terdiri atas bahan aktif, bahan tambahan dan pembawa
7. Evaluasi sediaan parenteral potensi/kadar, ph, warna,kekeruhan, bau, tokterdiri atas evaluasi terhadap sisistas, evaluasi wadah, keseragaman bobot dan keseragaman volume.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Martin, A.N. 1970. Physical Pharmacy. Second edition. Lea and Febiger, Philadelphia.
Anief, M. 1990. ”Ilmu Meracik Obat”. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
http://www.csu.edu.au/division/studserv/maths/pdfs/medicationcalculationspart2
http://elizuraida.multiply.com/journal/item/3
http://pharmacistmuslim.blogspot.com/2010/07/injeksi-pelarut-non-air.html
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/obat.pdf

Google Ads