Google ads

Selasa, 10 Mei 2011

ISOLASI SENYAWA ALKALOID DARI KULIT AKAR PULAI BASUNG (Alstonia spatulata Bl)

 ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi senyawa alkaloid dari kulit akar Alstonia spatulata Blume (Apocynaceae). Ekstraksi kulit akar A. spatulata dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut n-heksana dan metanol. Ekstrak metanol difraksinasi dengan metoda untuk isolasi senyawa alkaloid. Larutan berair dipartisi dengan etil asetat untuk memisahkan senyawa organik lainnya. Sisa larutan berair setelah dipartisi dengan etil asetat masih terdapat senyawa alkaloid, maka sisa larutan berair tersebut dipartisi kembali dengan butanol. Dari hasil uji KLT, fraksi etil asetat memiliki noda yang banyak dan sulit untuk dipisahkan. Pemisahan fraksi butanol dilakukan dengan metoda kolom kromatografi, diperoleh senyawa kristal bewarna putih (ASF1) sebanyak 11 mg dengan titik leleh 216-218 0C. Senyawa yang diperoleh dilakukan elusidasi struktur menggunakan spektrum 1H-NMR, 13C-NMR, HSQC, HMBC dan COSY. Senyawa ASF1 diketahui sebagai senyawa ekitamin.


I. PENDAHULUAN

Dewasa ini minat masyarakat untuk memanfaatkan kembali kekayaan alam seperti penggunaan tumbuh-tumbuhan sebagai ramuan obat semakin luas. Kelebihan dari pengobatan dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan tersebut adalah tidak adanya efek samping yang ditimbulkan jika dibandingkan dengan pengobatan secara kimiawi.
Tumbuhan memiliki banyak kandungan kimia, kandungan kimia tersebut sering memberikan efek fisiologi dan farmakologi sehingga lebih dikenal dengan senyawa kimia aktif (Thomas, 1989). Tetapi potensi dan manfaat secara kimia dari sebagian besar spesies tumbuhan belum banyak diketahui, shingga sangat perlu dilakukan studi dan penelitian tentang potensi dan kandungan kimia dari tumbuhan tersebut.
Komponen senyawa kimia aktif yang berasal tumbuh-tumbuhan ini menyusun suatu kelompok besar yang disebut produk alami (natural products) atau dikenal sebagai metabolit sekunder. Senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan tersebut, diantaranya seperti senyawa flavonoid, alkaloid, terpenoid, steroid, saponin dan fenolik (Herbert, 1995) dimana hasil metabolit sekunder dari tumbuhan itu sendiri penyebaran dan jumlahnya dalam tiap bagian tumbuhan tidak sama. Adapun bagian yang digunakan antara lain; daun, akar, biji, kulit batang, ranting, buah dan bunga (Harborne, 1987).
Salah satu tumbuhan yang mengandung senyawa kimia aktif adalah Pulai Basung. Pulai Basung merupakan spesies dari Apocynaceae dengan nama latin Alstonia spatulata Bl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat penyakit malaria dan anti diabetes yang diambil dari kulit batang (Ravao et al., 1985; Allen et al., 1993 dan Manjang, 1994)
Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan A. spatulata hanya sebatas pemanfaatan langsung seperti bahan mebel, bahan bakar, dan akhir-akhir ini merupakan salah satu bahan industri kayu lapis sehingga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sementara disisi lain potensi kimia yang terkandung dalam tumbuhan A. spatulata itu sendiri belum diketahui secara pasti. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kandungan dan potensi kimia dari tumbuhan A. spatulata sehingga tumbuhan A. spatulata ini bermanfaat dalam bidang pengobatan.
 Penelitian tumbuhan A. spatulata ini pernah dilakukan di Universitas Riau. Bagian tumbuhan yang diteliti tersebut adalah daun, kulit batang dan kulit akar. Hasil penelitian menyatakan bahwa kulit batang dan kulit akar tumbuhan A. spatulata positif mengandung senyawa alkaloid, namun struktur dan bioaktivitas dari senyawa tersebut belum diketahui (Almasari, 1998; Rahmi, 1998 dan Supardi, 1999), sedangkan pada daun tumbuhan A. spatulata ditemukan alkaloid vincamine. Senyawa vincamine ini telah pernah dilaporkan yang diisolasi dari tumbuhan genus Vinca, namun belum pernah dilaporkan dari genus Alstonia (Teruna dan Zamri, 2001)
Dari uji pendahuluan yang telah dilakukan, kulit akar tumbuhan A. spatulata positif mengandung senyawa alkaloid. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengisolasi senyawa alkaloid dari kulit akar A. spatulata dilanjutkan dengan karakterisasi senyawa dengan menggunakan spektroskopi ultraviolet (UV), spektroskopi inframerah (IR), dan NMR. Diharapkan dari hasil penelitian ini diperoleh senyawa baru dan data baru jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Sehingga dari data kandungan senyawa alkaloid tumbuhan A. spatulata tersebut dapat dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan di bidang farmasi,
kimia, kedokteran dan bidang terkait lainnya.


aktivitas air

Keracunan makanan yang terjadi di masyarakat seringkali menelan korban jiwa. Kita perlu mewaspadai makanan yang mengandung bakteri patogen dan zat-zat beracun yang dijual dan beredar di pasaran. Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Salah satu ciri makanan yang baik adalah aman untuk dikonsumsi. Jaminan akan keamanan pangan merupakan hak asasi konsumen. Makanan yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, akan menjadi tidak berarti sama sekali jika tak aman untuk dikonsumsi. Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu, kualitas makanan, baik secara bakteriologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan.
Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengonsumsinya. Kondisi tersebut dinamakan keracunan makanan. Infeksi dan Keracunan Menurut Volk (1989), foodborne diseases yang disebabkan oleh organisme dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu infeksi makanan dan keracunan makanan. Infeksi makanan terjadi karena konsumsi makanan mengandung organisme hidup yang mampu bersporulasi di dalam usus, yang menimbulkan penyakit. Organisme penting yang menimbulkan infeksi makanan meliputi Clostridium perfringens, Vibrio parahaemolyticus, dan sejumlah Salmonella. Sebaliknya, keracunan makanan tidak disebabkan tertelannya organisme hidup, melainkan akibat masuknya toksin atau substansi beracun yang disekresi ke dalam makanan. Organisme penghasil toksin tersebut mungkin mati setelah pembentukan toksin dalam makanan. Organisme yang menyebabkan keracunan makanan meliputi Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, dan Bacillus cereus. Semua bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Dalam metabolismenya, bakteri heterotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba. Kandungan air tersebut dinyatakan dengan istilah Aw (water activity), yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Setiap mikroorganisme mempunyai Aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri pada Aw 0,90; khamir Aw 0,80-0,90, serta kapang pada Aw 0,60-0,70. Lebih dari 90 persen terjadinya foodborne diseases pada manusia disebabkan kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi penyakit tifus, disentri bakteri atau amuba, botulism dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis. WHO mendefinisikan foodborne diseases sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.
Air merupakan suatu senyawa yang terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Air tergolong senyawa polar karena terdapat ikatan polar yang tidak saling menetralkan antara kedua jenis atom penyusunnya. Dalam bahan pangan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran terkandung air yang berbeda-beda seperti buah apel yang mengandung kadar air 80%, nenas 87% dan tomat sekitar 95%. Sedangkan buah yang mengandung kadar air terbesar yaitu semangka yang mencapai 97%
Peran air dalam bahan pangan dan pengolahannya sangat penting sekali, seperti:
1. Aktivasi Enzim dalam Bahan Pangan
Dalam bahan pangan, terdapat beberapa enzim yang hanya dapat bekerja jika ada air. Enzim tersebut tergolong enzim hidrolase seperti enzim protease, lipase, dan amilase

2. Pelarut Universal
Air merupakan senyawa polar yang hanya akan melarutkan senyawa yang polar. Senyawa-senyawa polar tersebut seperti garam (NaCl), vitamin (vitamin B dan C), gula (monosakarida, disakida, oligosakarida dan polisakarida) dan pigmen (klorofil).
3. Medium Pindah Panas
Dalam proses pengolahan pangan sering dilakukan pemasakan, dalam proses pemasakan tersebut digunakan kalor (panas). Kalor tersebut akan dihantarkan oleh air kebagian-bagian dalam bahan pangan secara merata, hal ini karena air mempunyai konduktivitas panas yang baik. Selain itu adanya air juga akan mempengaruhi kestabilan bahan pangan selama proses penyimpanan. Hal ini karena kestabilan bahan pangan tergantung dari aktivitas mikroba pembusuk seperti kapang, kamir dan jamur. Sedangkan aktivitas mikroba tersebut membutuhkan Aw (water activity) tertentu yang bersifat spesifik untuk tiap jenis mikroba.
Berdasarkan derajat keterikatannya air dalam bahan pangan, air dapat kita kelompokkan menjadi:
1. Air yang terikat secara fisik
Air jenis ini dapat dibagi lagi menjadi tiga jenis yaitu:
a. Air Kapiler
Air jenis ini terikat pada rongga-rongga kapiler dari bahan makanan
b. Air Terlarut
Air ini seakan-kan larut dalam bahan padat contohnya air gula dan air garam
c. Air adsorbsi
Air yang terkat pada permukaan bahan pangan dan daya ikatnya lemah serta mudah diputuskan.
2. Air yang terikat secara kimia
Air jenis ini dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Air Konstitusi
Air jenis ini terikat pada senyawa lain (bagian dari senyawa itu )seperti protein, karbohidrat dan akan dihasilkan apbila senyawa tersebut dihidrolisis.
b. Air Kristal
Air jenis ini terikat pada senyawa lain dalam bentuk H2O. Contohnya CaSO4.5H2O
3. Air bebas
Air jenis ini disebut juga sebagai mobile atau free water dan mempunyai sifat air normal dan mudah terlepas.

Dalam ilmu pangan terdapat beberapa istilah yang terkait dengan air yaitu:
1.      Kadar Air
Istilah kadar air banyak digunakan di industri karena lebih mudah dicerna oleh masyarakat awam. Kadar air merupakan jumlah total air yang dikandung oleh suatu bahan pangan (dalam persen) dan istilah ini tidak menggambarkan aktivitas biologisnya. Untuk menentukan kadar air suatu bahan, mula-mula bahan makan tersebut di ukur massanya (M1). Setelah itu bahan tersebut di keringkan (dengan oven) sampai massanya tidak berubah lagi, massa pada saat konstan dicatat sebagai massa dua (M2) . Setelah dua data tersebut didapat maka kita dapat menentukan kadar air dalam bahan tersebut dengan menggunakan rumus :
Kadar Air = ((M1-M2)/M1) x 100%

2.      Kelembapan Relatif (RH)
Istilah ini menggambarkan kandungan air total yang dikandung oleh udara yang biasanya juga dinyatakan dalam persen. Untuk menentukan jumalah air yang dikandung di udara maka kita dapat menggunakan metode Kelembapan spesifik. Kelembapan spesifik adalah metode untuk mengukur jumlah uap air di udara dengan rasio terhadap uap air di udara kering. Kelembapan spesifik diekspresikan dalam rasio kilogram uap air, mw, per kilogram udara, ma.
Rasio tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

x= mw/ ma

3.      Ativitas Air (Aw)
Istilah ini menggambarkan derajat aktivitas air dalam bahan pangan, baik kimia dan biologis. Nilai untuk Aw berkisar antara 0 sampai 1 (tanpa satuan). Untuk menentukan Aw, terlebih dahulu kita harus tahu ERH (Equilibrium Relative Humidity) yang merupakan perbandingan antara tekanan udara dalam camber yang berisi garam (P) dan tekanan udara dari camber yang berisi bahan pangan (Po).

ERH = P/Po

Jika kita perhatikan, nilai perbandingan tersebut lebih kecil dari 1. Hal ini karena terjadi efek sifat koligatif akibat adanya garam dalam ruangan tersebut.
Suatu bahan yang akan kita tentukan Awnya ditaruh dalam cember yang berisi garam (LiCl, MgCl2, NaI, NaCl, K2CrO4 dan K­2Cr2O7) dan akan terjadi perubahan terhadap kadar air dan Aw yang pada ahirnya akan mencapai kondisi kesetimbangan. Jika Aw lebih besar dari ERH maka air akan dilepaskan ke udara sedangkan apabila Aw produk lebih rendah dari ERH maka air di udara akan masuk ke bahan pangan tersebut. Kondisi kesetimbangan akan tercapai apabila kadar air bahan tidak berubah lagi (tidak ada mobilisasi air lagi).

Aw=ERH/100

Aktivitas air menggambarkan jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah ini paling umum digunakan sebagai kriteria untuk keamanan pangan dan kualiatas pangan. Nilai Aw minimum yang diperlukan tiap mikroba berbeda-beda seabagai contoh kapang membutuhkan Aw > 0.7, khamir > 0.8 dan bakteri 0.9. Dari data tersebut dapat dilihat kapang paling tahan terhadap bahan pangan yang mengandung Aw rendah sedangkan bakteri paling tidak tahan terhadap Aw rendah. Dalam bahan pangan terdapat berbagai jenis atau tipe air.


Prinsip Pengawetan Pangan dengan Pengendalian Aktivitas Air

Nilai Aw berperan penting dalam menentukan tingkat stabilitas dan keawetan pangan, baik yang disebabkan oleh reaksi kimia, aktivitas enzim maupun pertumbuhan mikroba. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba didalamnya. Jumlah air didalam bahan yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba dikenal dengan istilah aktivitas air (water activity = Aw). Aw pada bahan pangan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim. Sedangkan, pertumbuhan mikroba sangat erat kaitannya dengan keamanan pangan (food safety). Dengan kata lain, Aw sangat penting untuk kita perhitungkan, baik dalam pengolahan, penyimpanan, maupun distribusi bahan pangan. Beberapa jenis mikroba yang erat kaitannya dengan pangan serta nilai Aw minimum dimana mikroba tersebut dapat hidup dapat dilihat di bawah ini:



Dari kedua tabel di atas terlihat bahwa semakin tinggi nilai Aw (mendekati 1), semakin banyak mikroba yang dapat tumbuh. Terlihat pula bahwa jenis mikroba yang paling sakti (mampu hidup pada Aw cukup rendah) adalah kapang (mold), disusul oleh khamir (yeast) , dan terakhir bakteri yang memerlukan Aw relatif tinggi.
Cara untuk meningkatkan stabilitas dan keawetan pangan adalah dengan melakukan pengendalian Aw, yaitu dengan menurunkan nilai Aw pangan hingga berada di luar kisaran dari faktor penyebab kerusakan. Proses pengeringan, evaporasi, penambahan gula, penambahan bahan tampangan yang bersifat higroskopis atau penambahan garam adalah di antara cara untuk menurunkan nilai Aw. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan jumlah air yang terdapat dalam pangan dimana sebagian air dari pangan diuapkan. Penguapan air ini dapat menurunkan Aw pangan. Agar dapat menghambat pertumbuhan mikroba, maka pengeringan harus dilakukan sehingga Aw dari pangan yang dikeringkan berada di bawah kisaran pertumbuhan mikroba (Aw<0.60). Pada kondisi ini, pangan tidak mengandung lagi air bebas yang diperlukan bagi pertumbuhan mikroba. Jika kandungan air bahan diturunkan, maka pertumbuhan mikroba akan diperlambat. Pertumbuhan bakteri patogen terutama Staphylococcus aureus dan Clostridium botulinum dapat dihambat jika Aw bahan pangan < 0.8 sementara produksi toksinnya dihambat jika Aw bahan pangan kurang dari < 0.85. Sehingga, produk kering yang memiliki Aw < 0.85, dapat disimpan pada suhu ruang. Tapi, jika Aw produk >0.85 maka produk harus disimpan dalam refrigerator untuk mencegah produksi toksin penyebab keracunan pangan yang berasal dari bakteri patogen. Perlu diperhatikan bahwa nilai Aw < 0.8 ditujukan pada keamanan produk dengan menghambat produksi toksin dari mikroba patogen. Pada kondisi ini, mikroba pembusuk masih bisa tumbuh dan menyebabkan kerusakan pangan. Bakteri dan kamir butuh kadar air yang lebih tinggi daripada kapang. Sebagian besar bakteri terhambat pertumbuhannya pada Aw < 0.9; kamir pada Aw < 0.8 dan kapang pada Aw < 0.7. Beberapa jenis kapang dapat tumbuh pada Aw sekitar 0.62. Karena itu, kapang sering dijumpai mengkontaminasi makanan kering seperti ikan kering dan asin yang tidak dikemas. Penghambatan mikroba secara total akan terjadi pada Aw bahan pangan < 0.6.
Pengeringan juga dapat menghambat reaksi kimia, seperti reaksi hidrolisis, reaksi Maillard dan reaksi enzimatis. Sebagaimana proses pengeringan, proses evaporasi (pemekatan) pun dapat menghilangkan sebagian air, sehingga dapat menekan reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba. Cara lainnya untuk menurunkan Aw pangan adalah dengan menambahkan gula dan garam dengan konsentrasi tinggi. Gula bersifat higroskopis yang disebabkan oleh kemampuannya membentuk ikatan hidrogen dengan air. Adanya ikatan hidrogen antara air dan gula ini menyebabkan penurunan jumlah air bebas dan penurunan nilai Aw, sehingga air tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba. Penambahan garam NaCl dapat menurunkan Aw, karena garam dapat membentuk interaksi ionik dengan air, sehingga air akan terikat yang menurunkan jumlah air bebas dan Aw-nya. Penambahan gula dan garam yang semakin tinggi akan menyebabkan penurunan nilai Aw. Produk pangan yang mengandung gula tinggi (misal molases, sirup glukosa, permen, dan madu) atau yang bergaram tinggi (misal ikan asin) relatif awet. Cara lain untuk menurunkan nilai Aw adalah dengan menambahkan ingredien pangan yang bersifat higroskopis, misalnya gula polihidroksil alkohol. Sorbitol adalah salah satu gula alkohol yang sering ditambahkan pada pangan semi basah, misalnya dodol. Gugus fungsional polihidroksil dari sorbitol dapat mengikat air lebih banyak melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat menurunkan Aw air dari bahan. Dengan demikian, walaupun dodol memiliki kadar air yang relatif tinggi, namun Aw-nya rendah (0,5-0,6) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Di samping dapat memperpanjang daya awet pangan, penurunan Aw dengan cara pengolahan di atas dapat menurunkan tingkat resiko keamanan pangan. Pangan dengan Aw dan pH tinggi (Aw>0,85 dan nilai pH>4,5) atau disebut dengan pangan berasam rendah (misalnya daging, susu, ikan, tahu, mie basah, dan sebagainya) merupakan kelompok pangan yang beresiko tinggi. Kelompok pangan ini mudah rusak oleh mikroba pembusuk dan sumber nutrisi yang baik bagi pertumbuhan mikroba patogen, terutama bakteri. Dengan menurunkan nilai Aw di bawah Aw optimum pertumbuhan mikroba, maka tingkat resikonya dapat diturunkan.

Senin, 09 Mei 2011

Mekanisme masuknya protein yang baru disintesis ke retikulum endoplasma

Jenis protein yang dikhususkan untuk disekresikan dari sel (protein sekretori) dapat dibedakan dari protein lain di sitosal karena memiliki sekuen sepanjang 13-35 asam amino sebagai ujung N-terminalnya yang disebut sebagai sinyal sekuen. Sinyal-sinyal peptida dari jenis protein sekretori yang berbeda akan berbeda pula pada sekuen asam amino nya tapi mereka memiliki beberapa kesamaan secara umum, misalnya bagian tengah dari sekuen selalu terdiri dari 9-12 asam amino hidrofobik. Diduga bahwa sinyal sekuen mengarahkan protein sekretori ke membran retikulum endoplasma kasar dan juga menargetkan protein untuk melewati lumen retikulum endoplasma kasar dan disekresikan.
1.                  mRNA untuk protein sekretori terikat pada ribosom sitoplasma yang bebas dan sintesis protein dimulai. Bagian pertama dari protein yang dibuat adalah sinyal sekuen N-terminal.
2.                  Partikel pengenal sinyal (SRP), yang merupakan kompleks yang tersusun dari 7S RNA dan 6 protein terikat pada sinyal sekuen dan menghentikan sintesis protein lebih lanjut. Hal ini mencegah protein sekretori dikeluarkan terlalu awal ke sitosol.
3.                  Kompleks Ribosom-mRNA- SRP sekarang terikat pada reseptor SRP, yaitu sebuah protein pada permukaan retikulum endoplasma kasar. Membran retikulum endoplasma kasar juga mengandung protein reseptor ribosom yang diasosiasikan sebagai protein translokon.
4.                  Melalui serangkaian reaksi, ribosom diikat kuat oleh protein reseptor ribosom, SRP berikatan dengan reseptor RSP dan dilepaskan dari sinyal sekuen, dan translasi berlanjut, polipeptida yang terbentuk kemudian melewati pori yang dibentuk oleh translokon pada membran.
5.                  Sambil bergerak melewati pori, sinyal sekuen dipotong oleh sinyal peptidase pada sisi lumen dari retikulum endoplasma kasar dan didegradasi, membebaskan protein selebihnya ke dalam lumen.
6.                  sintesis protein berlanjut sebagai protein yang disintesis langsung ke retikulum endoplasma.
7.                  Setelah menyelesaikan sintesis protein, ribosom dilepaskan dan pori protein dalam translokon menutup.
Protein kemudian ditranspor melalui Golgi. SRP yang dibebaskan kemudian siap digunakan untuk mengikat sinyal sekuen yang lain.

anemia sickle cell

1. Hubungan penyakit anemia sickle-cell sebagai penyakit keturunan dengan mutasi pada hemoglobin.
 Penyakit anemia sickle-cell adalah hemoglobinopati yang disebabkan oleh kelainan stuktur hemoglobin. Kelainan stuktur tejadi fraksi globin didalam molekul hemoglobin. Globin tersusun dari dua pasang rantai polipeptida. Misalnya Hb S berbeda dari Hb A normal karena valin menggantikan asam glutamat pada salah satu pasang rantainya. Pada Hb C, lisin terdapat pada posisi itu.
 Penyakit sel sabit merupakan gangguan genetik resesif autosomal, yaitu induvidu memperoleh hemoglobin sabit (hemoglobin S) dari kedua orang tua, oleh karena itu disebut individu homozigot. Individu heterozigot (gen abnormal diwariskan hanya dari salah satu orang orang tua) dikatakan memiliki sifat sel sabit dan hanya berperan sebagai pembawa (carrier). Jika satu pihak orangtua mempunyai gen anemia sickle-cell dan yang lain merupakan pembawa, maka terdapat 50% kesempatan anaknya menderita anemia sickle-cell dan 50% kesempatan sebagai pembawa.
Anemia sickle-cell disebabkan karena adanya mutasi pada rantai β- globin dari hemoglobin, yang menyebabkan pertukaran asam glutamat (suatu asam amino) dengan asam amino hidrofobik valin pada posisi 6. Gen yang bertanggung jawab menyebabkan anemia sickle-cell merupakan gen autosom dan dapat ditemukan di kromosom nomor 11. Penggabungan dari dua subunit α-globin normal dengan dua subunit β-globin mutan membentuk hemoglobin S (Hb S). Pada kondisi kadar oksigen rendah, ketidakhadiran asam amino polar pada posisi 6 dari rantai β-globin menyebabkan terbentuknya ikatan non-kovalen di hemoglobin yang menyebabkan perubahan bentuk dari sel darah merah menjadi bentuk sabit dan menurunkan elastisitasnya dan menjadi kaku.
     Substitusi asam amino pada penyakit anemia sickle-cell mengakibatkan penyusunan kembali sebagian besar molekul hemoglobin jika terjadi deoksigenasi (penurunan tekanan O2). Deoksigenasi dapat terjadi karena banyak alasan. Eritrosit yang mengandung Hb S melewati sirkulasi mikro secara lebih lambat daripada eritrosit normal, menyebabkan deoksigenasi menjadi lebih lama. Eritrosit Hb S melekat pada endotel, yang kemudian memperlambat aliran darah. Peningkatan deoksigenasi dapat mengakinbatkan sel darah merah berada dibawah titik kritis dan mengakibatkan sel darah merah berada dibawah titik kritis dan mengakibatkan sabit dalam mikrovaskuler.

2. Hubungan antara orang pembawa gen sickle cell yang heterozigot dengan ketahanan terhadap malaria
Seseorang yang menerima gen cacat dari ayah dan ibu mengembangkan penyakit; orang yang menerima satu cacat dan satu alel sehat tetap sehat, tapi dapat menularkan penyakit dan dikenal sebagai carrier. Jika dua orang tua yang adalah pembawa punya anak, ada kemungkinan 1 dari 4 anak mereka berkembang penyakit dan kesempatan 1 dari 2 anak mereka yang hanya carrier. Karena gen tersebut tidak sepenuhnya resesif, carrier dapat menghasilkan sickled beberapa sel darah merah, tidak cukup untuk menimbulkan gejala, tapi cukup untuk memberikan ketahanan terhadap malaria. Karena itu, heterozigot memiliki kebugaran lebih tinggi daripada salah satu homozigot. Hal ini dikenal sebagai keuntungan heterozigot. Karena keuntungan adaptif heterozigot, penyakit ini masih merata, khususnya diantara orang-orang dengan keturunan di daerah yang dilanda malaria, seperti Afrika, Mediterania, India dan Timur Tengah.
Parasit malaria memiliki siklus hidup yang kompleks dan menghabiskan sebagian dalam sel darah merah. Dalam carrier, kehadiran parasit malaria menyebabkan sel darah merah dengan hemoglobin cacat pecah sebelum waktunya, membuat plasmodium yang tidak mampu untuk bereproduksi. Lebih lanjut, polimerisasi Hb mempengaruhi kemampuan parasit untuk mencerna Hb di tempat pertama. Oleh karena itu, di daerah di mana malaria merupakan masalah, peluang masyarakat untuk bertahan hidup sebenarnya meningkat jika mereka membawa sifat sel sabit (seleksi untuk heterozigot tersebut). Tanpa endemis malaria dari Afrika, mutasi sel sabit adalah murni merugikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009, Mengenal lebih dekat dengan Sickle Cell Anemia, Http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/05/712.
Anonim, 2011, Penyakit Sel Sabit Genetika, http://www.news-medical.net/health/sickle-cell-disease-genetics-(indonesia).aspx
Nelson, D. L., Cox, M. M., Lehninger Principles Of Biochemistry Fourth Edition, www.whfreeman.com/lehninger4e.
Robbins, Kumar, Cotran . 1997. Buku Ajar Patologi Edisi 7. EGC, Jakarta.

trehalose

Pemahaman Dasar Mengenai Trehalose
Trehalose adalah gula alami yang terdapat di alam, yang memiliki fungsi mirip dengan sukrosa namun dengan kestabilan yang lebih tinggi dan kemanisan yang lebih lembut. Trehalose dapat digunakan oleh berbagai perusahaan makanan guna meningkatkan kualitas produknya ataupun inovasi produk baru. Trehalose adalah disakarida tak tereduksi yang mengandung 2 molekul glukosa a,a -1,1 yang mampu memberikan proses yang sempurna dan kestabilan produk akhir.

Tahap reaksi enzimatis hidrolisis pati menjadi trehalose
Pada langkah pertama, pati yang dicairkan diperlakuan dengan α-amilase thermophylic. Pada tahap kedua, maltooligosakarida diperoleh diperlakukan bersamaan dengan maltooligosyl trehalose synthase (MTSase), maltooligosyl trehalose trehalohydrolase (MTHase), isoamylase, dan cyglodextrin glucano transferase (CGTase). Isomylase digunakan sebagai enzim ‘pemutus cabang’, yaitu untuk membelah ikatan α-1-6 glikosidik molekul pati. CGTase ditambahkan dalam rangka untuk mendaur ulang kembali maltosa ke dalam proses. CGTase mengkatalisis reaksi transglycosylation antarmolekul di mana maltosa bertindak sebagai molekul akseptor. Glukoamilase dan α-amilase ditambahkan untuk melepaskan setiap gugus trehalose tersisa dan kelas setiap oligosacarida tersisa dan maltosa menjadi glukosa. Setelah trehalose selesai terbentuk melalui langkah enzimatik (sakarifikasi), campuran reaksi dihilangkan warnanya dengan karbon aktif, disaring menggunakan tanah diatom dan parlite, kemudian dan dipekatkan dengan penguapan sehingga diperoleh dalam bentuk kristal trehalose.

Aplikasi Trehalose Pada Produk Bakery
Produk-produk bakery sering mengalami masalah karena ingredient yang digunakan tidak cocok dan kondisi alam/lingkungan yang tidak mendukung saat produk didistribusikan atau dipajang, sehingga saat akan dikonsumsi menjadi menurun kualitasnya.
Fungsi Trehalose dalam makanan adalah :
1. Mencegah penurunan kualitas pati
2. Mencegah denaturasi protein selama proses produksi, penyimpanan dan distribusi sehingga kualitas makanan menurun.
3. Mencegah penurunan kualitas lemak akibat oksidasi.
4. Stabilisasi vitamin-vitamin selama pemanasan terutama vitamin E. Juga mencegah
oksidasi, degradasi atau browning dari vitamin C karena interaksi dengan mineral
5. Interaksi dengan mineral seperti mineral-mineral alkali (kalsium dan magnesium)
agar tidak keluar dari daging atau sayuran.
6. Menekan bau dan rasa yang kurang enak karena mencegah terbentuknya amino, aldehida dan sulfide (belerang).
7. Meningkatkan rasa dan aroma
8. Menghilangkan kerusakan akibat proses pembekuan atau thawing dimana air yang berubah menjadi kristal es akan merusak komposisi makanan, dan Trehalose akan menghilangkan atau mengurangi ukuran kristal yang terbentuk selama proses pembekuan.

Fungsi trehalose dalam bidang kesehatan
1. Kosmetik: Trehalose dimanfaatkan sebagai penahan kelembaban kapasitas, digunakan sebagai pelembab dan tonik pertumbuhan rambut.
2. Farmasi: Menggunakan sifat trehalosa untuk menjaga jaringan dan protein, digunakan dalam solusi perlindungan organ untuk transplantasi organ.
Perusaahan jepang Hayashibara
Hayashibara International merupakan produsen Trehalose dengan merek TREHA, merupakan innovator yang unggul dalam teknologi. Salah satu grup perusahaan Hayashibara Company, yang berada di Okayama Jepang. Perusahaan didirikan tahun 1883 sebagai perusahaan pemroses pati (starch) dengan keunggulan inovasi di teknologi karbohidrat. Katsutaro Hayashibara, pendiri perusahaan, membuka toko yang menghasilkan dan menjual sirup dari malt. Karena sungai Asahi, dimana pabrik Hayashibara Okayama berdiri, juga digunakan untuk mengangkut padi, maka bahan baku beras untuk membuat sirup dari malt selalu tersedia. Produk dengan bahan gula alami sangat langka, sehingga Hayashibara Shoten menjadi terkenal di seantero Jepang akan produk pemanisnya. Komitmen perusahaan untuk terus melakukan riset menjadikan perusahaan sebagai pemroses pati (starch) pertama di dunia yang menghasilkan glukosa secara enzymatis, suatu proses yang akhirnya menjadi suatu standar industri. Komitmen berkelanjutan dari Hayashibara untuk terus melakukan riset menghasilkan berbagai produk inovatif dan pemrosesan bagi makanan, kosmetik dan industri farmasi.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.food.gov.uk/multimedia/pdfs/0_1.pdf
http://www.pdf.kq5.org/TREHALOSE-produced-by-a-novel-enzymatic-process.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Trehalose
http://www.bakeryindonesiamag.com/id/2010/04/20/freshness-enhancer-terlalu-penting-untuk-diabaikan/

Google Ads