Google ads

Selasa, 07 Juni 2011

Obat-Obat Antibiotika dan Anti Jamur, Penyakit Yang Berhubungan dengan Antibiotika dan Antijamur Serta Pengobatannya

I. Antibiotika
Pengertian antibiotika
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.

Penggolongan antibotika
A. Berdasarkan struktur kimia
1. Golongan β-laktam
a. Penisilin
Mekanisme kerja:
Penisilin dapat menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba terhadap mikroba yang sensitif, terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi antar rantai peptidoglikan terganggu. kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
Mekanisme resistensi terhadap penisilin yaitu :
Enzim autolysin kuman tidak bekerja sehingga timbul sifat toleran kuman terhadap obat. Kuman tidak mempunyai dinding sel misalnya mikoplasma.
b. sefalosporin
Mekanisme kerja sefalosporin sama dengan betalaktam yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat adalah reaksi pembentukan dinding sel
1. Aminoglikosida (Streptomisin, Kanamisin, Gentamisin).
Mekanisme kerja :
Merupakan penghambat irreversibel pada ribosom kuman, sehingga mengganggu sintesis protein. Awalnya terjadi difusi pasif melalui kanal-kanal porin melintasi membran luar kemudian obat dengan transpor aktif melintasi membran sel kedalam sitoplasma oleh proses yang membutuhkan oksigen. Suatu gradien elektrokimia transmembran menyalurkan energi untuk proses dan kondisi anaerob menghambat transpor ini dihubungkan dengan suatu pompa proton. Agen-agen ini mengganggu komplek awal pembentukan peptida, menginduksi salah baca mRNA.yang mengakibatkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida, sehingga menyebabkan suatu keadaan non-fungsi atau toksik protein, menyebabkan terjadinya pemicahan polisom menjadi monosom non-fungsional.
Resistensi mekanismenya adalah :
• mikroorganisme memproduksi suatu enzim transferase atau enzim-enzim yang menyebabkan inaktivitas aminoglikosida melalui adenilasi asetilase.
• Menghalangi masuknya aminoglikosida ke dalam sel.
• Protein reseptor subunit ribosom 30S kemungkinan hilang atau berubah sebagai akibat dari mutasi.
2. Golongan Amfenikol (Kloramfenikol, Tiamfenikol)
Mekanisme kerja yaitu klorampenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. merupakan antibiotika bakteriostatik berspektrum luas yang aktif terhadap organisme-organisme aerobik gram positif maupun gram negatif.
Resistensi kadar rendah dapat timbul dari populasi besar sel-sel yang rentan terhadap klorampenikol melalui seleksi mutan-mutan yang kurang permeabel terhadap obat.
4. Golongan Tetrasiklin (Tetrasiklin, klortetrasiklin, doksisiklin) Mekanisme kerja yaitu menghambat sintesis protein ribosom kuman yang akan menyebabkan blokade perpanjangan rantai peptida. Mempengaruhi fungsi ribosom bakteri dengan cara menginhibisi sistesis protein pada sitoplasma secara reversibel sehingga bakteri akan kehilangan protein yang dibutuhkan bakteri. Spektrum kerjanya luas kecuali terhadap Pseudomonas dan Proteus. Juga aktif terhadap Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata), leptospirae, beberapa protozoa.

5. Golonga Ansamisin (Rifampisin)
Mekanisme kerja rifampisin yaitu terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikrobakteri dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sntesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman.
6. Golongan Polipeptida (Gramisidin, Polimiksin, Basitrasin)
Berasal dari Bacillus polymixa. Bersifat bakterisid berdasarkan kemampuannya melekatkan diri pada membran sel bakteri sehingga permeabilitas meningkat & akhirnya sel meletus. Meliputi : Polimiksin B dan polimiksin E (colistin), basitrasin dan gramisidin. Spektrumnya sempit, polimiksin hanya aktif terhadap bakteri gram negatif. Sebaliknya Basitrasin dan gramisidin aktif terhadap kuman gram positif. Penggunaan : Karena sangat toksis pada ginjal dan organ pendengaran, maka penggunaan secara sistemik sudah digantikan, lebih banyak digunakan sebagai sediaan topikal (sebagai tetes telinga yang berisi polimiksin sulfat, neomisin sulfat, salep mata/tetes mata yang berisi basitrasin, neomisin)
Mekanisme kerja yaitu obat ini mengganggu fungsi pengaturan osmosis oleh membran sitoplasma kuman.
B. Berdasarkan spektrum aktivitas :
 Antibiotika berspektrum luas (broad spectrum)
Merupakan antibiotika yang efektif baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Contoh : turunan Tetrasiklin, Amfenikol, Aminoglikosida, Makrolida, Rifampisin dan beberapa turunan Penisilin.
 Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram positif, contohnya : Basitrasin, Eritromisin, sebagian besar turunan Penisilin.
 Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram negatif, contohnya : Kolistin, Polimiksin B Sulfat.
 Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae (antituberkulosis), contohnya : Streptomisin, Kanamisin, Sikloresin, Rifampisin, Viomisin dan Kapreomisin.
C. Berdasarkan mekanisme kerja :
 Bekerja terhadap dinding sel membran luar bakteri, contoh : Penisilin dan derivatnya.
 Bekerja terhadap dinding sel membran dalam bakteri, contoh : Polimiksin dan Amfoterisin.
 Bekerja terhadap sitoplasma bakteri, contoh : Streptomisin dan Kanamisin.
 Bekerja terhadap inti sel bakteri, contoh : Rifampisin.
D. Berdasarkan kemampuannya membunuh mikroba Antibiotika dibagi menjadi dua yaitu:
 a. Bersifat bakterisid (Misal : penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, polipeptida).
 b. Bersifat bakteriostatik (Misal : tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, sulfonamida)

Fungsi Antibiotika
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara provilaktis juga diberikan kepada pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi.
Mekanisme kerja yang terpenting pada antibiotika adalah perintangan sintesa protein, sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi tanpa merusak jaringan tuan rumah. Selain itu, beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding sel dan membran sel. Namun antibiotika dapat digunakan sebagai non-terapeutis, yaitu sebagai stimulans pertumbuhan pada binatang ternak.



Resistensi Antibiotika
Resistensi antibiotika merupakan suatu masalah yang besar yang berkembang di seluruh dunia. Ada 5 mekanisme resistensi antibiotika :
 Perubahan tempat kerja (target site) obat pada mikroba.
 Bakteri menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk kedalam sel.
 Inaktivasi obat oleh bakteri.
 Bakteri membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh antimikroba.
 Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antibiotika.
Resistensi Antibiotika ada 2 kelompok :
 Resistensi alami yaitu sifat dari antibiotika tersebut yang kurang aktif atau tidak aktif terhadap suatu kuman. Contohnya Pseudomonas aeruginosa yang tidak akan pernah sensitif terhadap kloramfenikol.
 Resistensi yang didapat yaitu apabila kuman tersebut sebelumnya sensitif terhadap suatu antibiotika kemudian berubah menjadi resisten. Contohnya Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Penggunaan antibiotika juga dapat menimbulkan efek samping dan efek samping ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
 Reaksi alergi
 Reaksi toksik
 Perubahan biologik dan metabolik
Untuk kegagalan terapi antibiotika dinilai apabila tidak berhasil menghilangkan gejala klinik atau apabila keadaan infeksi kambuh lagi setelah terapi dihentikan, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan terhadap kegagalan terapi ini sebagai berikut :
 Harus dapat memastikan kembali penyebab dari infeksi apakah diagnosanya benar.
 Harus bisa menentukan kembali kepekaan suatu antibiotika secara invitro dari mikroorganisme yang digunakan.
 Diperiksa kembali kadar antibiotika dalam urin dan aktivitasnya terhadap mikroorganisme.
 Kalau seandainya terjadi inflamasi, inflamasi tersebut hanya karena infeksi bukan dari penyebab yang lain seperti alergi.

Penggunaan antibiotika
Antibiotika diperlukan untuk mengobati beberapa penyakit di bawah ini:
• Tuberkulosis
• Tifus
• Diare akibat amoeba hystolytica
• Infeksi saluran kemih
• Infeksi kuman streptokokus penyebab radang tenggorokan
• Infeksi sinus berat
• Infeksi telinga.
Penggunaan antibiotika didasarkan pada:
a. Penyebab infeksi
Proses pemberian antibiotika yang paling baik adalah dengan melakukan pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun pada kenyataannya, proses tersebut tidak dapat berjalan karena tidak mungkin melakukan pemeriksaan kepada setiap pasien yang datang karena infeksi, dank arena infeksi yang berat perlu penanganan segera maka pengambilan sample bahan biologic untuk pengembangbiakan dan pemeriksaan kepekaan kuman dapat dilakukan setelah dilakukannya pengobatan terhadap pasien yang bersangkutan.
b. Faktor pasien
Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotika adalah fungsi organ tubuh pasien yaitu fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang hamil atau menyusui dan lain-lain.


Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Penggunaan Antibiotika
 Gambaran klinis adanya infeksi yang diderita
 Faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotika
 Fungsi ginjal dan hati pasien
 Biaya pengobatan

Antibiotika Kombinasi diberikan apabila pasien melakukan :
 Pengobatan infeksi campuran
 Pengobatan pada infeksi berat yang belum jelas penyebabnya
 Efek sinergis
 Memperlambat resistensi

Penggunaan Antibiotika untuk Profilaksis
Profilaksis antibiotika diperlukan dalam keadaan sebagai berikut:
a. Untuk melindungi seseorang yang terpapar kuman tertentu.
b. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko bakteremia, misalnya ekstraksi gigi, pembedahan dan lain-lain.
c. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah.

Antibiotika Kombinasi
Antibiotika kombinasi diberikan untuk 4 indikasi utama:
a. Pengobatan infeksi campuran, misalnya pasca bedah abdomen.
b. Pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas, misalnya sepsis, meningitis purulenta.
c. Mendapatkan efek sinergi.
d. Memperlambat timbulnya resistensi, misalnya pada pengobatan tuberkulosis.


II. Antijamur
Pada dasawarsa terakhir, di seluruh dunia disinyalir adanya peningkatan luar biasa kasus infeksi oleh jamur. Kasus infeksi seperti infeksi mukosa mulut, bronchia, usus, vagina dan lain-lain oleh Candida albicans.
Penyebaran jamur ini mungkin disebabkan oleh sangat meningkatnya pengunaan antibiotik berspektrum luas dimana-mana sehingga merusak keseimbangan biologi flora kuman normal.
Secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistemik/dalam tubuh dan infeksi jamur topikal/kulit. Di bawah ini akan dibahas mengenai obat jamur untuk infeksi jamur sistemik.
Pada infeksi umum, jamur tersebar di tubuh atau mengakibatkan infeksi dalam organ tubuh, yang kadang-kadang dapat membahayakan jiwa.
I. Penggolongan Obat Jamur Sistemik
Obat jamur untuk infeksi jamur sistemik:
1. Amfoterisin B. Obat ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, beberapa spesies Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitis, Paracoc braziliensis, beberapa strain Aspergillus, Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesies Trichophyton.
2. Flusitosin. Obat ini efektif untuk pengobatan Kriptokokosis, Kandidosis, Kromomikosis, Torulopsis dan Aspergilosis.
3. Ketokonazol dan Triazol. Sebagai turunan Imidazol, Ketokonazol mempunyai aktivitas anti jamur baik sistemik maupun nonsistemik, Efektif terhadap Candida, Coccioides immitis, Cryptococcus neoformans, H.capsulatum, B.dermatitidis, Aspergillus dan Sporothrix.
4. Kalium Iodida adalah obat terpilih untuk Cutaneous lymphatic sporotrichosis.
Infeksi jamur (mikosis) sistemik jarang dijumpai, tetapi berbahaya dan sifatnya kronis.
Amfoterisin B merupakan obat jamur yang efektif untuk infeksi sistemik yang berat. Dikarenakan toksisitasnya, obat ini harus diberikan dengan infus di rumah sakit oleh tenaga medis yang kompeten.
Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel.
Disamping Amfoterisin B, Ketokonazol adalah suatu obat jamur untuk infeksi sistemik yang berspektrum luas.
II. Infeksi Jamur Sistemik
Infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya berikut obat terpilihnya adalah:
1. Aspergilosis. Aspergilosis paru sering terjadi pada penderita penyakit imunosupresi yang berat dan tidak memberi respon yang memuaskan terhadap pengobatan dengan obat jamur. Obat pilihan untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B secara intra vena dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap hari.
2. Blastomikosis. Obat jamur terpilih untuk Blastomikosis adalah Ketokonazol per oral 400 mg mg sehari selama 6-12 bulan. Itrakonazol dengan dengan dosis 200-400 mg sekali sehari juga efektif pada beberapa kasus. Amfoterisin B sebagai cadangan untuk penderita yang tidak dapat menerima Ketokonazol.
3. Kandidiasis. Pengobatan menggunakan Amfoterisin B. Flusitosin diberikan bersama Amfoterisin B untuk Meningitis, Endoftalmitis, Artritis oleh Kandida. Disamping penyebarannya yang lebih baik ke jaringan sakit, Flusitosisn diduga bekerja aditif dengan Amfoterisin B sehingga dosis Amfoterisin B dapat dikurangi.
4. Koksidioidomikosis. Adanya kavitis (ruang berongga) tunggal di paru atau adanya infiltrasi fibrokavitis yang tidak responsif terhadap kemoterapi merupakan ciri khas penyakit kronis Koksidioidomikosis. Penyakit ini dapat diobati dengan Amfoterisin B secara intra vena, Ketokonazol, Itrakonazol.
5. Kriptokokosis. Obat terpilih adalah Amfoterisin B dengan dosis 0,4-0,5 mg/kg per hari secara intra vena. Penambahan Flusitosin dapat mengurangi pemakaian Amfoterisin B (0,3 mg/kg). Flukonazol bermanfaat untuk terapi supresi pada penderita AIDS.
6. Histoplasmosis. Penderita histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan Ketokonazol 400 mg per hari selama 6-12 bulan. Itrakonazol 200-400 mg sekali sehari juga cukup efektif. Amfoterisin B intra vena secara intra vena juga dapat diberikan selama 10 minggu.
7. Mukormikosis. Amfoterisin B merupakan obat pilihan untuk Mukormikosis paru kronis.
8. Parakoksidioidomikosis. Ketokonazol 400 mg per hari merupakan obat pilihan yang diberikan selama 6-12 bulan. Pada keadaan yang berat diberikan terapi awal Amfoterisin B.
9. Sporotrikosis. Obat terpilih untuk keadaan ini ialah pemberian oral larutan jenuh Kalium Iodida (1 g/ml) dengan dosis 3 kali 40 tetes sehari yang dicampur dengan sedikit air. Obat Sporotrikosis yang menyerang paru, tulang

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Katzung, BG, 1998, Farmakologi Dasar Klinik, Edisi VI. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Tjay, H. T., 2002, “Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya”, Edisi kelima, PT. Elex Media Komputindo, jakarta.
Setiabudi, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Gaya Baru: Jakarta
http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id
http://pojokapoteker.blogspot.com
http://doctorology.net
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11AntijamurSistemik108.pdf/11AntijamurSistemik108.html



Tidak ada komentar:

Google Ads